Akal dan Hikmah: Cahaya Penuntun dalam Peradaban Islam

"Jelajahi peran akal dan hikmah dalam Islam. Artikel ini mengungkap bukti historis dan Qur'ani tentang kuatnya rasionalitas dalam peradaban muslim."

Akal dan Hikmah

Dalam khazanah pemikiran filosofis, akal selalu menempati posisi tertinggi sebagai fondasi pengetahuan dan jembatan menuju kepastian. Namun, seringkali muncul pertanyaan: apakah akal dan penalaran rasional kurang dihargai dalam peradaban Arab sebelum terjemahan karya-karya Yunani memperkenalkan istilah "filsafat"? Jawaban tegasnya adalah tidak. Justru, warisan intelektual Arab, jauh sebelum era penerjemahan, telah mengakui dan menjunjung tinggi peran akal serta kebijaksanaan.

 

Akal dalam Lensa Warisan Linguistik dan Al-Qur'an

Ketika kita menelusuri warisan linguistik Arab, makna akal sangatlah kaya. Ia merujuk pada kemampuan untuk memverifikasi masalah, membedakan manusia dari hewan, memahami, memerintah, dan berpendapat. Akal adalah karunia istimewa yang memisahkan manusia dari makhluk lain. Betapa mulianya posisi akal ini, hingga Al-Qur'an pun berulang kali menggarisbawahi urgensinya. Secara eksplisit, akal disebutkan dalam 49 ayat, dan secara implisit dalam 16 ayat lainnya. Para ulama terdahulu bahkan mengidentifikasi akal sebagai inti dari kebijaksanaan itu sendiri.

Maka, adalah keliru besar untuk menuduh peradaban Arab mengabaikan rasionalitas sebelum datangnya pengaruh Yunani. Penghormatan mendalam terhadap akal ini tercermin dalam berbagai aspek. Selain itu, Al-Qur'an menggunakan istilah "an-nuha" di dua tempat untuk menyoroti peran akal sebagai alat pencegah kejahatan dan pendorong kebaikan. Istilah "kontemplasi" (Tadabbur) juga muncul berulang kali, merujuk pada refleksi dan pertimbangan rasional, serta penalaran, perenungan, dan analogi.

Semua rujukan ini menjadi saksi tak terbantahkan akan kedudukan akal yang agung dalam warisan kita. Bahkan, penggunaan istilah "hikmah" (kebijaksanaan) dalam Al-Qur'an—yang disebutkan dalam 19 ayat—menunjukkan bahwa konsep "filsafat" sudah akrab bagi bangsa Arab jauh sebelum istilah itu sendiri dikenal melalui terjemahan Yunani. Dahulu, "hikmah" memang berarti filsafat, dan para cendekiawan bijak Arab adalah para filsuf mereka, bahkan sebelum kedatangan Islam.

 

Hikmah: Perpaduan Wahyu dan Akal

Perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk berdakwah adalah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta berdebat dengan cara yang lebih baik (QS. An-Nahl: 125). Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran dapat dicapai melalui berbagai jalur, disesuaikan dengan tingkat pemahaman audiens. Ibnu Rusyd, seorang filsuf terkemuka, bahkan membagi metode pencarian kebenaran ini menjadi tiga: khotbah untuk masyarakat umum, argumen untuk para teolog, dan hikmah bagi para filsuf.

Kita juga patut merenungkan bagaimana Allah SWT menegaskan pentingnya "hikmah" dalam risalah kenabian. Allah Swt berfirman: "Dan Dia mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan hikmah." (QS. Al-Baqarah: 151). Demikian pula, dalam konteks nikmat, Allah Swt berfirman: "Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu dan apa yang telah diturunkan-Nya kepadamu, yaitu Kitab dan hikmah." (QS. Al-Baqarah: 231). Bahkan dalam konteks rumah tangga Nabi, Allah Swt berfirman: "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah." (QS. Al-Ahzab: 34).

Ayat-ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengandalkan transmisi teks (wahyu), tetapi juga pada akal dan hikmah. Jalan kita menuju kebenaran bukan hanya melalui teks-teks yang diwariskan, tetapi juga melalui anugerah dan kebijaksanaan, yaitu perenungan rasional dan refleksi filosofis. 

Muhammad Emara dalam berbagai tulisannya sering mengungkapkan bahwa akal yang beriman adalah pelengkap wahyu ilahi, karena keduanya merupakan jalan yang diturunkan Tuhan untuk membimbing manusia. Al-Qur'an sendiri menyerukan perenungan akal, menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara bimbingan ilahi dan kapasitas rasional manusia, melainkan keselarasan yang sempurna.

Ini berarti akal dan Al-Qur'an adalah dua sarana yang Allah Swt jadikan sebagai petunjuk bagi manusia. Keduanya tidak memiliki perbedaan, kontradiksi, atau konflik, karena pada hakikatnya, prinsip dasar keduanya adalah satu dan sama. Keduanya adalah cahaya penuntun yang saling melengkapi dalam perjalanan manusia menuju kebenaran.