Kebangkitan Rasionalitas Islam: Fondasi Kejayaan dan Relevansi Abadi
"Bagaimana akal dan wahyu bersatu membangun peradaban Islam? Jelajahi perjalanan intelektual Muslim yang memadukan filsafat dan logika untuk dakwah efektif."
Islam, sejak awal kemunculannya, adalah agama yang tidak pernah menolak akal dan ilmu pengetahuan.
Sejarah kebangkitan peradaban Islam menjadi saksi bisu bagaimana rasionalitas menjadi fondasi utama kejayaannya. Kisah ini berawal dari sebuah transisi besar pasca-penaklukan Arab, ketika kaum Muslim yang sederhana di Jazirah Arab berinteraksi dengan peradaban-peradaban yang jauh lebih maju dan kompleks seperti Persia, Levant, dan Mesir.
Alih-alih menghancurkan atau menolak warisan intelektual yang ada, para penakluk Muslim mengambil inspirasi dari sabda Nabi Muhammad SAW, "Hikmah adalah harta yang hilang dari orang beriman; di mana pun ia menemukannya, ia memiliki hak yang lebih besar atasnya." Prinsip agung inilah yang membimbing mereka untuk menyerap ilmu pengetahuan, menghormati para cendekiawan, dan mengintegrasikan nilai-nilai yang selaras dengan ajaran Islam dan semangat Arab. Hasilnya? Lahirlah sebuah peradaban Arab-Islam yang gemilang, sebuah sintesis dinamis dari pemikiran Islam yang murni, vitalitas Arab, dan kekayaan budaya dari bangsa-bangsa yang ditaklukkan.
Pemikir besar seperti Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya secara jelas menggambarkan bagaimana interaksi dan asimilasi ilmu dari berbagai peradaban adalah kunci kemajuan suatu umat. Penaklukan ini bukan hanya ekspansi geografis, tetapi juga ekspansi intelektual yang tak ternilai.
Tantangan Dakwah dan Kebutuhan akan Nalar
Pada awalnya, Islam di wilayah taklukan belum menjadi agama mayoritas. Ini bukan karena ketiadaan semangat dakwah, melainkan karena metode yang digunakan belum sesuai. Argumen sederhana yang efektif di Jazirah Arab tidak cukup untuk masyarakat yang kaya tradisi intelektual, memiliki institusi keagamaan yang mapan, dan menghadapi rohaniawan yang terampil dalam logika Aristoteles serta filsafat Yunani.
Situasi ini menuntut adaptasi. Umat Islam dengan cepat menyadari bahwa untuk menyebarkan risalah Islam secara persuasif, mereka membutuhkan lebih dari sekadar retorika yang fasih. Mereka membutuhkan argumen rasional, pemikiran filosofis, dan logika yang kokoh. Ini bukan berarti menomorduakan wahyu, melainkan menjadikan akal sebagai alat untuk memahami dan menjelaskan wahyu itu sendiri.
Rasionalitas sebagai Pilar Dakwah dan Toleransi
Kebutuhan akan penalaran inilah yang memicu munculnya aliran-aliran pemikiran seperti Mu'tazilah, sebuah mazhab teologi rasionalis yang sangat menekankan akal dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Meskipun pandangan mereka sering diperdebatkan dalam sejarah Islam, kontribusi mereka dalam meletakkan dasar-dasar argumentasi rasional dalam teologi Islam tak bisa dipungkiri. Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, yang diakui sebagai "filsuf Arab" pertama, juga berperan besar dalam menerjemahkan dan mengasimilasi filsafat Yunani ke dalam khazanah intelektual Islam. Ini membuka jalan bagi penggunaan logika Aristoteles dalam debat-debat teologis dan ilmiah.
Pengembangan pendekatan rasionalis inilah yang menjelaskan mengapa Islam mulai menyebar secara pesat setelah berabad-abad menjadi minoritas. Para pemimpin gerakan rasionalis Islam menjadi pionir dakwah. Pada abad kedua Hijriyah (sekitar abad ke-8 Masehi), mazhab rasionalis Islam mencapai puncaknya, menandai transformasi Islam dari kepercayaan minoritas menjadi agama mayoritas di dunia Arab. Transformasi ini terjadi melalui persuasi, argumentasi logis, dan teladan kehidupan.
Bahkan tokoh sekaliber Al-Ghazali, yang mengkritik beberapa aspek filsafat, mengakui pentingnya logika sebagai alat untuk membantah argumen para penentang Islam. Kontribusinya dalam menyelaraskan akal dan wahyu, serta memberikan landasan metodologis bagi argumen keagamaan, sangatlah signifikan. Sementara itu, Ibnu Sina, seorang polimatik terkemuka, menunjukkan bagaimana filsafat dan nalar dapat digunakan untuk memahami kebenaran agama dan memperkuat iman.
Relevansi Rasionalitas Islam Bagi Muhammadiyah dan Umat Kini
Kisah kebangkitan rasionalitas Islam ini sangat relevan bagi Muhammadiyah dan umat Islam di era kontemporer. Di tengah gempuran informasi, tantangan pemikiran global, dan berbagai narasi yang terkadang mengabaikan nalar, pendekatan rasional dalam beragama menjadi semakin krusial. Muhammadiyah, dengan semangat tajdid (pembaruan) dan purifikasi (pemurnian) yang senantiasa berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, adalah contoh nyata bagaimana rasionalitas dapat menjadi jembatan antara teks suci dan realitas modern.
Dengan memegang teguh semangat rasionalitas ini, kita dapat menyajikan Islam yang mencerahkan, yang tidak takut berdialog dengan ilmu pengetahuan, yang mampu menjawab tantangan zaman dengan argumen yang kokoh, dan yang tetap relevan bagi kemajuan peradaban. Mari kita terus mengembangkan tradisi keilmuan dan penalaran yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita, demi kemajuan umat dan bangsa.
0 Komentar